6.22.2008

Mengoptimalkan Undang-Undang ITE

Pada 25 Maret 2008 lalu pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengeluarkan undang-undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hadirnya UU ini disambut positif berbagai kalangan walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya.

Bagi yang kontra, UU itu dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas seseorang di dunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dilihat sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain.

Tulisan ini tidak bermaksud memihak salah satu kelompok yang pro dan kontra, melainkan ingin memberikan suatu gambaran pemikiran mengapa payung hukum itu diperlukan dikaitkan dengan berbagai kasus penyalahgunaan internet yang berkembang belakangan ini. Sebenarnya Undang-Undang ITE ini agak terlambat disahkan, padahal kasus-kasus penyalahgunaan internet sudah sering terjadi hingga pada taraf yang sangat mengkhawatirkan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Walaupun terlambat, kehadiran aturan hukum baru tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan internet hingga merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Menurut Menkominfo Muhammad Nuh, sedikitnya ada tiga hal mendasar penyalahgunaan internet yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa secara keseluruhan, yakni pornografi, kekerasan, dan informasi yang mengandung hasutan SARA.

Isu pornografi di dunia maya agaknya menjadi alasan yang kuat mengapa undang-undang itu dibuat. Maraknya situs porno di internet yang dapat diakses secara bebas oleh siapa saja diduga sebagai salah satu penyebab timbulnya kasus-kasus pelecehan dan kejahatan seksual di berbagai strata masyarakat, termasuk kalangan remaja dan anak-anak. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menunjukkan banyak anak yang telah menjadi korban pelecehan seksual akibat masifnya materi pornografi di masyarakat.

Menurut Ketua KPAI Masnah Sari, pornografi sangat berbahaya bagi generasi muda karena bersifat adiktif sehingga meracuni pikiran dan menstimulus mereka untuk meniru situs yang mereka lihat di internet tanpa mempertimbangkan aspek kesiapan mental, jasmani, dan sosio-kultural. Melihat dampak situs porno terhadap kerusakan akhlak masyarakat yang begitu besar saja, rasanya tidak ada alasan untuk menolak kehadiran Undang-Undang ITE tersebut. Padahal, pornografi di internet hanyalah satu sisi dari sekian banyak sisi negatif penyalahgunaan internet.

Internet dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan tindak kejahatan yang jauh lebih luas dan terus berkembang baik secara kuantitas maupun kualitas sejalan dengan kemajuan teknologi informasi itu sendiri. Ada sejumlah kejahatan internet yang cukup menonjol belakangan ini. Pertama, sabosate terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain dan jaringan komunikasi data dan penyalahgunaan jaringan orang lain. Kedua, penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan privasi seseorang atau lembaga lain terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunkan.

Kasus ketiga, melakukan akses-akses ke server tertentu atau ke internet yang tidak diizinkan oleh peraturan organisasi atau penyusupan ke web server sebuah situs kemudian mengganti halaman depan situs tersebut. Serangan terhadap web Depkominfo pada 27 Maret 2008 lalu dan situs partai Golkar, misalnya, adalah contoh nyata tindak kejahatan ini yang dilakukan oleh kelompok orang yang tidak setuju dengan UU ITE.

Keempat, tindakan penyalahgunaan kartu kredit orang lain di internet. Kelima, penerapan aplikasi dalam usaha membuka proteksi dan software atau sistem secara ilegal. Keenam, pembuatan program ilegal dengan maksud menyebarkan dan menggandakan diri secara cepat dalam jaringan. Biasanya melalui email liar dengan tujuan membuat kerusakan dan kekacauan sistem.

Contoh-contoh kejahatan internet di atas menggambarkan bahwa teknologi internet mengalami pergeseran fungsi utamanya sebagai alat penyebarluasan informasi dari segi positifnya. Internet telah beralih fungsi menjadi media massa elektronik yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan manusia dalam berbagai aspek dari yang positif hingga negatif. Internet bahkan digunakan sebagai alat propaganda politik untuk kepentingan elite-elite politik tertentu atas nama hak asasi, kebebasan, dan demokrasi.

Kejahatan internet atau yang lebih populer dengan istilah cyber crime ini dapat dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan interaksi langsung antara pelaku dan korban kejahatan. Dengan sifat seperti itu, semua negara termasuk Indonesia yang melakukan aktivitas internet akan terkena imbas dari perkembangan kejahatan dunia maya.

Para hacker atau cracker selalu mencari celah untuk menggunakan keahliannya melakukan kejahatan. Memudarnya batas-batas geografi dalam abad 21 yang dikenal sebagai abad informasi ini telah mengubah cara pandang terhadap penyelesaian dan praktik kejahatan dari model lama (konvensional) ke model baru (elektronik). Kekuatan jaringan dan komputer pribadi berbasis pentium menjadikan setiap komputer sebagai alat yang potensial bagi para pelaku kejahatan.

Globalisasi aktivitas kriminal yang memungkinkan para penjahat melintas batas elektronik merupakan masalah nyata dengan potensi memengaruhi negara, hukum, dan warga negaranya. Kasus penyebarluasan film Fitna di internet, misalnya, menggambarkan bagaimana si pembuat film ini mencoba menggunakan internet untuk menebarkan kebencian dan hasutan yang mengandung SARA kepada semua orang di seluruh dunia. Fakta ini tak bisa dimungkiri karena internet dapat dijadikan sarana yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan negatif yang diinginkan tanpa batasan geografis dan teritorial tadi.

Sebenarnya upaya untuk mengatasi kejahatan internet ini sudah disepakati di Hongaria pada 23 November 2001. Saat itu ada lebih kurang 30 negara menandatangani convention on cyber crime sebagai wujud kerja sama multilateral untuk menanggulangi aktivitas kriminal melalui internet dan jaringan komputer lainnya. Namun, upaya penanggulangan kejahatan internet ini menemukan masalah dalam hal yurisdiksi.

Pengertian yurisdiksi sendiri adalah kekuasaan atau kemampuan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi ini merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan.

Darel Menthe menyatakan yurisdiksi di ruang maya membutuhkan prinsip-prinsip yang jelas yang berakar dari hukum internasional. Pendapat ini dapat ditafsirkan bahwa dengan diakuinya prinsip-prinsip yurisdiksi yang berlaku dalam hukum internasional terkait dengan kegiatan dalam ruang maya oleh setiap negara maka akan mudah bagi semua negara untuk mengadakan kerja sama dalam rangka harmonisasi ketentuan-ketentuan pidana untuk menanggulangi kejahatan internet.

Dalam konteks ini Indonesia bisa memainkan perannya bersama-sama dengan negara-negara lain di dunia untuk mengatasi masalah kejahatan internet. Dalam lingkup nasional, kejahatan internet pada saatnya akan menjadi bentuk kejahatan serius yang dapat membahayakan keamanan individu, masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Sebagai contoh, kegiatan-kegiatan kenegaraan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat dan negara tidak selalu bisa dijamin aman dari ancaman penjahat dalam dunia maya. Oleh karena itu, harus ada perangkat hukum yang bisa dijadikan landasan untuk menangkal kejahatan tersebut.

Kalau UU ITE dilihat dalam perspektif penanggulangan penyalahgunaan internet di atas, maka semestinya tak perlu ada pro dan kontra. Ini karena pada dasarnya kehadiran UU itu untuk melindungi masyarakat dari kerugian dan kehancuran akhlak yang akan berimplikasi pada kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Meski demikian, kehadiran perangkat hukum itu pun tidak secara otomatis dapat menghentikan langkah para hacker atau cracker. Bahkan, boleh jadi perangkat hukum ini akan memancing keberanian mereka untuk mencari titik-titik lemahnya sehingga mereka bisa terus melancarkan aksinya.

Kenyataannya, para pelaku cyber crime secara umum adalah orang-orang yang memiliki keunggulan dan kemampuan keilmuan dan teknologi di bidangnya. Sementara itu, kemampuan aparat untuk menangkalnya sungguh jauh dari kualitas dari para pelaku kejahatan tersebut.

Alangkah baiknya jika perangkat hukum ini didukung juga dengan dua perangkat lainnya, yakni perangkat teknis berupa teknologi perangkat lunak yang mampu menangkal segala bentuk penyalahgunaan internet dan perangkat pendidikan akhlak dalam bentuk program penyadaran (public awareness) tentang penggunaan internet yang bermartabat, santun, arif, dan bijaksana kepada seluruh lapisan masyarakat pengguna internet di seluruh Indonesia.

Program public awareness tampaknya harus lebih digalakkan karena semua plus minus penggunaan internet itu sangat bergantung pada yang memakainya. Ketiga perangkat ini harus berjalan secara paralel sehingga masyarakat menyadari betul makna kehadiran internet baik untuk individu, keluarga, maupun kelompok-kelompok masyarakat.

Satu hal yang tak kalah penting adalah komitmen bersama untuk memfungsikan semua perangkat itu. Jika tidak ada komitmen yang kuat untuk menjalankannya, maka semua upaya yang ditempuh untuk mengatasi penyalahgunaan internet akan menjadi sia-sia.

Semoga kehadiran UU ITE bisa menjadi payung hukum bagi aparat kepolisian untuk bertindak tegas dan selektif terhadap berbagai jenis penyalahgunaan internet. Dengan demikian, kehadiran UU ini tidak menjadi momok yang menakutkan bagi pengguna dan mematikan kreativitas seseorang di dunia maya.

Ikhtisar:
- Perangkat hukum ini bisa menjerat orang-orang yang tak bertanggung jawab.
- Aparat hukum harus mampu menguasai teknologi untuk menghadapi para hacker dan cracker.